Hukum perdata dalam arti
luas meliputi semua hukum privat materiil, yakni segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan. Itu sebabnya, hukum perdata sering
disebut sebagai hukum privat atau hukum sipil. Hukum perdata di Indonesia
berasal dari Burgerlijk Wetboek Belanda, yang diberlakukan
berdasarkan asas konkordansi.
Sesuai dengan
karakternya, hukum perdata adalah private, sehingga mengikat
para pihak terkait, karena ia mengatur kepentingan orang per orang.
Manakala dilanggar, maka orang (pihak terkait yang dirugikan) tersebutlah yang
mengajukan gugatan. Subjek hukum, berupa orang atau badan hukum, tunduk pada
hukum perdata sepanjang ia merupakan pendukung hak dan kewajiban yang timbul
dari hukum perdata tersebut. Bahkan Pasal 2 KUH Perdata sudah
menganggap anak yang masih berada dalam kandungan sebagai subjek hukum yang
punya kepentingan.
Lain halnya dengan hukum pidana
yang unifikatif (bisa berlaku untuk semua warga negara tanpa ada pembedaan
golongan), hukum perdata justru beraneka ragam.Prof. Subekti mengistilahkannya
dengan ‘berbhinneka’. Mengapa, karena hukum perdata, dalam arti sempit
KUH Perdata, tidak bersifat unifikatif berlaku bagi semua warga negara.
Belanda pernah
memberlakukan Pasal 113 Indische Staatsregeling ("IS")
yang membagi penduduk berdasarkan golongan, misalnya Eropa, China, Timur Asing,
Bumiputera. Sekalipun ada prinsip penundukan (onderwerpen)terhadap hukum
Eropa, perbedaan sistim hukum perdata terus muncul hingga kini.
Sebagai contoh, dalam hal
perkawinan dan perceraian, maka Bab IV Buku I KUH Perdata tidak
bisa dipakai untuk ‘menjerat’ karena Indonesia sudah memiliki UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). UU Perkawinan
merupakan salah satu upaya unifikasi hukum perdata yang berlaku bagi seluruh
warga negara Indonesia. Tapi, untuk penduduk yang beragama Islam, ketentuan
yang mengatur perkawinan dan perceraian merujuk pada Instruksi Presiden
No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Sebaliknya ketika kita
bicara mengenai pengaturan waris, aturan mengenai waris dalam KUH Perdata tidak
berlaku bagi orang Islam. Begitu pula ketika masuk ke ranah waris bagi
masyarakat adat, hukum waris adat juga berlaku.
Dalam hal hukum
perjanjian, maka perjanjian itu otomatis mengikat dan bisa menjerat orang-orang
yang membuat perjanjian itu dan Kecakapan bertindak
adalah bahwa seseorang baru dianggap cakap secara hukum ketika dia sudah dewasa
dan tidak berada di bawah pengampuan (Pasal 1330KUH Perdata). Buku
II KUH Perdata mengatur bagaimana mengurus kepentingan orang yang di
bawah perwalian, pengampuan, dan orang yang hilang. Orang gila tentu saja tidak
mungkin dimintai tanggung jawab (dijerat) hukum perdata.
Upaya unifikasi hukum yang dilakukan secara parsial menyebabkan rumitnya keberlakuan hukum perdata tertentu bagi semua penduduk. Meskipun penggolongan penduduk seperti yang dibuat Belanda sudah tidak ada, namun hukum perdata belum berhasil diunifikasi agar bisa berlaku untuk semua warga negara.
Oleh karena itu,
keberlakuan KUH Perdata adalah bergantung pada bidang apa yang diatur. Jika
mengenai waris, maka KUH Perdata tidak menjerat atau tidak berlaku bagi orang
yang beragama Islam atau masyarakat yang menundukkan diri pada hukum adat.
Namun ketika kita bicara mengenai perjanjian, maka KUH Perdata berlaku (menjerat)
bagi semua warga negara Indonesia.
REFERENSI
1. Asis Safioedin. Beberapa
Hal tentang Burgerlijk Wetboek. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.
2. E. Utrecht. Pengantar
Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ichtiar, 1966.
3. Rachmadi Usman. Perkembangan
Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah Politik Hukum di Indonesia. Jakarta:
Sinar Harapan, 2003.
4. Subekti. Pokok-Pokok
Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2001.
Dasar hukum:
1. Indische Staatsregeling;
3. Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar