Senin, 30 Juli 2012

ASAS ACTOR SEQUITUR FORUM REI



Asas “Actor Sequitur Forum Rei” adalah asas dalam Hukum Acara Perdata yang menerangkan tentang dimanakah seharusnya gugatan itu diajukan. Berdasarkan pada asas ini, maka pada prinsipnya gugatan Hukum Acara Perdata itu diajukan di pengadilan negeri tempat tinggal tergugat (Pasal 118 H. I. R.  (1)). Asas ini juga pada dasarnya menjadi acuan mengenai kompetensi relatif pengadilan dalam hukum acara perdata.

Dalam pengaturannya lebih lanjut, asas ini kemudian diterjemahkan dalam bebrapa aturan yang lebih spesifik lagi yang apabila konteks sengketa perdata yang terjadi telah melibatkan lebih dari satu pihak atau pihak-pihak dalam posisi yang khusus ataukah sengketa perdata khusus yang kemudian tidak diatur dalam B.W, H. I. R / R.Bg atau R.V.  melainkan dalam undang-undang yang khusus, juga tambahan dari sumber-sumber hukum perdata lainnya.

Adapun pengembangan dari penerapan asas ini antara lain, yaitu :

Dalam Pasal 118 H. I. R.
  • Gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat kediaman tergugat apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui;
  • Apabila tergugat terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, gugatan diajukan pada tempat tinggal salah seorang dari tergugat yang dipilih oleh penggugat;
  • Apabila pihak tergugat ada 2 (dua) orang dimana yang seorang adalah pihak yang berhutang dan yang seorang adalah penjaminnya, maka gugatan diajukan pada pengadilan negeri pihak yang berhutang. Dan apabila tempat tinggal tergugat dan turut tergugat berbeda maka gugatan itu diajukan di tempat tinggal tergugat;
  • Apabila  tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal maka gugatan harus diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat;
  • Dalam hal gugatan mengenai barang tidak bergerak, gugatan dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat barang bergerak tersebut terletak apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak diketahui. Namun khusus dalam persoalan ini hanya berlaku bagi gugatan mengenai benda tidak bergerak, bukan yang menyangkut uang sewa dari benda tidak bergerak tersebut. Namun, ketentuan ini berbeda dengan apa yang tercantum dalam pasal 99 ayat (8) R.V. dan Pasal 142 ayat (5) R.Bg. dimana dalam hal gugatan menyangkut benda tidak bergerak, gugatan diajukan ke pengadilan negeri di wilayah dimana benda tidak bergerak tersebut terletak;
  • Apabila ada sebuah tempat tinggal atau pengadilan negeri yang ditunjuk khusus dalam sebuah akta atau tercanntum dalam sebuah perjanjian, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri tempat tinggal atau pengadilan negeri yang tercantum dalam akta atau perjanjian tersebut. Namun, tidak menggugurkan kemungkinan untuk mengajukan gugatan di tempat tinggal tergugat atas keinginan penggugat.


Dalam B.W., R.V., dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1947 tentang Perkawinan

  • Dalam hal tergugat tidak cakap untuk menghadap di muka pengadilan, gugatan diajuka kepada pengadilan negeri tempat tinggal orang tuanya, walinya atau pengampunya (pasal 21 B.W.);
  • Dalam hal tergugat adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) maka pengadilan negeri yang berwenang adalah pengadilan negeri dimana ia bekerja (Pasal 20 B.W.);
  • Tentang buruh yang menginap di tempat majikannya, maka pengadilan negeri yang berwenang mengadilinya adalah pengadilan negeri tempat tinggal majikannya (pasal 22 B.W.);
  • Dalam persoalan kepailitan, yang berwenang mengadilinya dalah pengadilan tempat tergugat dinyatakan pailit (Pasal 99 ayat (15) R.V.);
  • Tentang “virjwaring”, yang berwenang mengadili adalah pengadilan negeri yang pertama dimana pemeriksaan dilakukan (Pasal 99 ayat (14) R.V.);
  • Dalam hal permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan negeri yang berwenang adalah pengadilan negeri dalam daerah hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami-istri, suami atau istri (Pasal 25 jo. Pasal 63 ayat (1) huruf b Undang-Undang No.1 tahun 1974, pasal 38 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975);
  • Tentang gugatan perceraian dapat diajukan dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat kediaman penggugat dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar negeri dan ketua pengadilan negeri tempat diajukannya gugatan menyampaikan permohonan tersebut melalui perwakilan Republik Indonesia di negara tersebut (Pasal 40 jo. Pasal 63 ayat (1) huruf b Undang- Undang No. 1 tahun 1974, pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).


Sumber :
  • BURGERLIJK WETBOEK VOOR INDONESIE (B.W.) (Staatsblad 1847-23)
  • HERZIEN INLANDSCH REGLEMENT (H.I.R) (Staatsblad 1941-44)
  • REGLEMENT TOT REGELING VAN HET RECHTSWEZEN IN DE GEWESTEN BUITEN JAVA EN MADURA. (RBg.) (Staatsblad 1927-227)
  • REGLEMENT OP DE RECHTSVORDERING (R.V.) (Staatsblad 1847-52 jo. 1849-63)

Minggu, 29 Juli 2012

GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK TERPENUHINYA SEBUAH PERIKATAN



Pasal 1236 BW menyatakan bahwa, “debitur wajib memberi ganti biaya, kerugian dan bunga bila ia menjadikan dirinya tida mampu untuk menyerahkan barang atau tidak merawatnya sebaik-baiknya untuk menyelamatkannya”.

Pasal ini adalah pasal tentang perikatan untuk memberikan sesuatu, namun disini kita bisa melihat bahwa ganti kerugian pada prinsipnya ada tiga macam yaitu : Ganti Kerugian, Ganti Biaya dan Bunga.

Pada prinsipnya, ganti kerugian atas tidak terpenuhinya sebuah perikatan diwajibkan apabila Debitur tidak memenuhi perikatan tersebut atau debitur memenuhinya tapi tidak tepat waktu seperti yang diperjanjikan (Pasal 1243 BW).

Penghukuman terhadap ganti kerugian akan dijatuhkan kepada debitur apabila debitur tidak dapat membuktikan bahwa tidak terpenuhinya sebuah perikatan atau perikatan tersebut terpenuhi tapi melebih batas waktu yang telah ditentukan terjadi karena hal-hal yang tidak terduga, dimana beban pertanggungjawabannya tidak dapat dibebankan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk yang dilakukannya (Pasal 1244 BW).

Berdasarkan hal tersebut, kita bisa melihat bahwa :

  1.  Beban Pembuktian terpenuhinya atau tidak terpenuhinya sebuah prestasi ada pada debitur;
  2. Itikad baik bukan merupakan hal yang bisa menggugurkan kewajiban ganti kerugian.

Persoalan ganti kerugian ini juga tidak dapat dibebankan kepada debitur apabila terjadi keadaan memaksa yang tak terduga diluar dari kekuasaannya (force majure) (Pasal 1245 BW)

Apa-Apa Saja Yang Bisa Dituntut Sebagai Ganti Kerugian

Berdasarkan Pasal 1246 BW, ganti kerugian yang dapat ditagihkan kepada debitur dapat berupa : 

  1. Ganti atas kerugian yang diderita oleh kreditur;
  2. Ganti kerugian atas potensi penghasilan yang mungkin didapatkan jika perikatan tersebut berjalan sesuai dengan apa yang disepakati.

Maka dari itu, bukanlah sebuah hal yang melanggar hukum apabila seseorang meminta ganti kerugian terhadap nilai yang menurutnya dapat diperoleh seandainya perjanjian tersebut berjalan sesuai dengan apa yang telah disepakati. 

Kewenangan Direksi Perseroan Terbatas

Oleh : ILMAN HADI

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), pengertian Direksi adalah:

“Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”

Mengenai tugas dan wewenang Direksi lebih jauh diatur dalam Pasal 92 (5) UUPT bahwa dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih,pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Jika kemudian ternyata RUPS tidak menetapkan pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi, maka pembagian tugas dan wewenang direksi ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi (Pasal 92 ayat [6] UUPT).

Selain berwenang untuk pengurusan sehari-hari Perseroan, Direksi juga berwenang mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 98 ayat [1] UUPT). Dan dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar (Pasal 98 ayat [2] UUPT).

Dalam Anggaran Dasar perusahaan Saudara disebutkan bahwa “2 orang anggota Direksi bersama-sama berhak dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Direksi serta mewakili Perseroan”.

Dari bunyi ketentuan anggaran dasar yang Saudara sebutkan, jelas bahwa 2 orangdireksi secara bersama-sama berhak dan berwenang untuk melakukan suatu tindakan untuk dan atas nama Direksi. Sehingga kewenangan bertindak harus dilakukan secara bersama-sama antara 2 orang Direksi dimaksud, tidak sendiri-sendiri. Juga dalam hal mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan harus juga dilakukan bersama-sama.

Jadi, bila bunyi anggaran dasar PT Saudara menentukan bahwa 2 orang anggota Direksi bersama-sama berhak dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Direksi serta mewakili Perseroan, artinya setiap tindakan yang dilakukan Direksi maupun kegiatan mewakili Perseroan di dalam maupun di luar pengadilan harus dilakukan secara bersama-sama dan bukan oleh salah satu di antara mereka saja.

Padahal, sesuai uraian kami di atas, tugas dan wewenang direksi dapat dibagi. Oleh karena itulah, dalam praktik kita temui ada berbagai macam jabatan direksi seperti Direktur keuangan dan Direktur personalia. Sehingga, setiap anggota direksi dapat melakukan tindakan pengurusan yang dipercayakan kepadanya. Meskipun Pasal 97 ayat (4) UUPT menyebutkan jika anggota Direksi terdiri dari dua orang, maka tanggung jawab atas pengurusan PT berlaku secara tanggungrenteng bagi setiap anggota direksi.

Dan dalam hal mewakili perseroan, disebutkan bahwa ketika anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiapanggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Makna dari penggunaan kata “setiap” adalah masing-masing (satu per satu) dari orang anggota direksi dapat mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Tidak harus secara bersama-sama kecuali memang dikehendaki demikian dan dituangkan dalam anggaran dasar seperti yang Saudara sebutkan.
  
Dasar hukum:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Source : HukumOnline

Kamis, 26 Juli 2012

Upah Lembur Pada Perusahaan Event Organizer


Oleh : ILMAN HADI

Pengertian waktu kerja lembur diatur dalam Pasal 1 angka 1 Kepmenakertrans No.  KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur:

“Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah”.

Pasal 78 ayat (2)UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UUK”) menyatakan bahwa Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur. Namun, ketentuan waktu kerja lembur dan upah kerja lembur tersebut, tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

Berdasarkan Pasal 78 ayat (4) UUK untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu diatur lebih lanjut secara khusus oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Tapi, hingga saat ini pengaturan mengenai ketentuan waktu kerja/waktu kerja lembur serta upah kerja lembur bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu, baru ada 2 (dua) Peraturan, yakni:

1.    Kepmenakertrans. No. 234/Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral Pada Daerah Tertentu;
2.    Permenakertrans. No. 15/Men/VII/2005 tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu; 

Sedangkan untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu lainnya yang hingga saat ini belum diatur secara khusus (termasuk event organizer) dapat diperjanjikan oleh para pihak dalam Perjanjian Kerja (PK) dan Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan tetap mengindahkan ketentuan umum, antara lain:

-      Maksimum 7 jam per-hari untuk pola waktu kerja 6:1 atau maksimum 8 jam per-hari untuk pola waktu kerja 5:2 (Pasal 77 ayat [2] UUK);
-    Apabila melebihi ketentuan waktu kerja yang ditentukan sebagaimana tersebut, wajib diperhitungkan sebagai waktu kerja lembur dengan hak memperoleh upah kerja lembur.;
-  Pelaksanaan waktu kerja lembur, harus memenuhi syarat-syarat, antara lain : persetujuan (masing-masing) dari pekerja yang bersangkutan; waktu kerja lembur hanya maksimum 3 (tiga) jam per-hari (untuk lembur pada hari kerja; dan komulatif waktu kerja lembur per-minggu maksimum 14 jam, kecuali lembur dilakukan pada waktu hari istirahat mingguan/hari libur resmi (Pasal 78 ayat [1] UUK jo Pasal 3 ayat [2] Kepmenakertrans No. KEP-102/MEN/VI/2004). 

Apabila pengusaha tidak membayar upah lembur pekerja, ada ancaman pidanasesuai Pasal 187 UUK:

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2), Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Menurut Pasal 8 Kepmenakertrans No. KEP-102/MEN/VI/2004,perhitungan upah lembur adalah didasarkan pada upah bulanan, dengan perhitungan upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan.

Lebih jauh mengenai perhitungan upah lembur diatur dalam beberapa pasal berikut:

Pasal 10
(1).    Dalam hal upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan upah lembur adalah 100% (seratus perseratus) dari upah.
(2).    Dalam hal upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, apabila upah pokok tambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75% (tujuh puluh lima perseratus) keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari keseluruhan upah.

Pasal 11
Cara perhitungan upah kerja lembur sebagai berikut:
a)       apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja:
a.1 untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu setengah) kali upah sejam;
a.2 untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2 (dua) kali upah sejam.
b)       apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka b.1 perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh 4 (empat) kali upah sejam;
b.2 apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.
c)        apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah sejam.

Pasal 12
Bagi perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang nilainya lebih baik dari Keputusan Menteri ini, maka perhitungan upah lembur tersebut tetap berlaku.


Dasar hukum:
2.    Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor  KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

Keberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata




Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil, yakni segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Itu sebabnya, hukum perdata sering disebut sebagai hukum privat atau hukum sipil. Hukum perdata di Indonesia berasal dari Burgerlijk Wetboek Belanda, yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi.

Sesuai dengan karakternya, hukum perdata adalah private, sehingga mengikat para pihak terkait, karena ia mengatur kepentingan orang per orang. Manakala dilanggar, maka orang (pihak terkait yang dirugikan) tersebutlah yang mengajukan gugatan. Subjek hukum, berupa orang atau badan hukum, tunduk pada hukum perdata sepanjang ia merupakan pendukung hak dan kewajiban yang timbul dari hukum perdata tersebut. Bahkan Pasal 2 KUH Perdata sudah menganggap anak yang masih berada dalam kandungan sebagai subjek hukum yang punya kepentingan.

Lain halnya dengan hukum pidana yang unifikatif (bisa berlaku untuk semua warga negara tanpa ada pembedaan golongan), hukum perdata justru beraneka ragam.Prof. Subekti mengistilahkannya dengan ‘berbhinneka’. Mengapa, karena hukum perdata, dalam arti sempit KUH Perdata, tidak bersifat unifikatif berlaku bagi semua warga negara.

Belanda pernah memberlakukan Pasal 113 Indische Staatsregeling ("IS") yang membagi penduduk berdasarkan golongan, misalnya Eropa, China, Timur Asing, Bumiputera. Sekalipun ada prinsip penundukan (onderwerpen)terhadap hukum Eropa, perbedaan sistim hukum perdata terus muncul hingga kini.

Sebagai contoh, dalam hal perkawinan dan perceraian, maka Bab IV Buku I KUH Perdata tidak bisa dipakai untuk ‘menjerat’ karena  Indonesia sudah memiliki UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”). UU Perkawinan merupakan salah satu upaya unifikasi hukum perdata yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Tapi, untuk penduduk yang beragama Islam, ketentuan yang mengatur perkawinan dan perceraian merujuk pada Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).

Sebaliknya ketika kita bicara mengenai pengaturan waris, aturan mengenai waris dalam KUH Perdata tidak berlaku bagi orang Islam. Begitu pula ketika masuk ke ranah waris bagi masyarakat adat, hukum waris adat juga berlaku. 

Dalam hal hukum perjanjian, maka perjanjian itu otomatis mengikat dan bisa menjerat orang-orang yang membuat perjanjian itu dan Kecakapan bertindak adalah bahwa seseorang baru dianggap cakap secara hukum ketika dia sudah dewasa dan tidak berada di bawah pengampuan (Pasal 1330KUH Perdata). Buku II KUH Perdata mengatur bagaimana mengurus kepentingan orang yang di bawah perwalian, pengampuan, dan orang yang hilang. Orang gila tentu saja tidak mungkin dimintai tanggung jawab (dijerat) hukum perdata.

Upaya unifikasi hukum yang dilakukan secara parsial menyebabkan rumitnya keberlakuan hukum perdata tertentu bagi semua penduduk. Meskipun penggolongan penduduk seperti yang dibuat Belanda sudah tidak ada, namun hukum perdata belum berhasil diunifikasi agar bisa berlaku untuk semua warga negara.

Oleh karena itu, keberlakuan KUH Perdata adalah bergantung pada bidang apa yang diatur. Jika mengenai waris, maka KUH Perdata tidak menjerat atau tidak berlaku bagi orang yang beragama Islam atau masyarakat yang menundukkan diri pada hukum adat. Namun ketika kita bicara mengenai perjanjian, maka KUH Perdata berlaku (menjerat) bagi semua warga negara Indonesia.


REFERENSI
1.    Asis Safioedin. Beberapa Hal tentang Burgerlijk Wetboek. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.
2.    E. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ichtiar, 1966.
3.    Rachmadi Usman. Perkembangan Hukum Perdata dalam Dimensi Sejarah Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 2003.
4.    Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2001.

Dasar hukum:
1.    Indische Staatsregeling;
2.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad1847 No. 23);
3.    Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. 

Selasa, 24 Juli 2012

Pidana Penjara Bagi Anak


Oleh : ILMAN HADI

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) yaitu:

Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”

Mengenai batas usia anak untuk dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya, MK berdasarkan Putusan MK No. 1/PUU-VIII/2010 Tahun 2010 menaikkan batas minimal usia anak yang dapat dituntut pertanggung jawaban pidana menjadi 12 Tahun.

Di samping itu, saat ini telah ada Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Sistem Peradilan Anak yang baru disetujui DPR (lebih jauh simak artikel DPR telah Menyetujui RUU Sistem Peradilan Anak) namun masih menunggu tanda tangan dari Presiden. RUU Sistem Peradilan Anak yang baru ini mengaturbeberapa hal penting dan salah satunya adalah batasan usia pertanggungjawaban pidana yaitu 12 tahun sampai 18 tahun serta batasan usia anak dapat dikenakan penahanan yaitu 14 tahun sampai 18 tahun (Pasal 32 ayat [2] RUU Sistem Peradilan Anak).

Sebenarnya dari sejak anak masih menjadi tersangka atau terdakwa, penahanan terhadap anak sudah harus dipisahkan dari tempat tahanan orang dewasa (Pasal 45 ayat [3] UU Pengadilan Anak jo Pasal 19 ayat (2) PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 58 Tahun 2010).

Dalam penjelasan Pasal 19 ayat (2) PP 27/1983 tersebut dikatakan bahwatempat tahanan anak perlu dipisahkan dari orang dewasa, agar jangan sampai anak tersebut mendapat pengaruh yang kurang baik. Lebih jauh mengenai penahanan anak bisa Saudara simak dalam artikel Ketentuan dan Persyaratan Penahanan Anak yang Berhadapan dengan Hukum.

Ketika seorang anak telah diputus bersalah dan dikenakan pidana penjara, anakakan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) sebagai Warga Binaan Pemasyarakatan.

Anak yang ditempatkan di LAPAS disebut dengan Anak Didik Pemasyarakatan. Anak Didik Pemasyarakatan terdiri dari (Pasal 1 angka 8 UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan):
a.    Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
b.    Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
c.    Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun

Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di LAPAS khusus untuk  anak yang disebut dengan LAPAS Anak. Anak yang ditempatkan di LAPAS Anak untuk menjalani hukuman pidana penjara disebut anak pidana (Pasal 18 UU Pemasyarakatan). Di dalam LAPAS, Anak tersebut, akan digolongkan berdasarkan dasar umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan (Pasal 20 UU Pemasyarakatan) dalam rangka pembinaan anak pidana tersebut.

Jadi, penempatan anak di penjara memang dipisahkan dengan orang dewasa dalam semua tahap proses pidana untuk menghindari anak mendapat pengaruh buruk selama di penjara. Bahkan di dalam LAPAS Anak itu sendiri masih dipisahkan lagi menurut kriteria umur, jenis kelamin, lama pidana yang dijatuhkan, jenis kejahatan, dan kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Source : hukumonline

Dasar hukum:

Putusan:
Situs-Indonesia.com